Bernyanyi Di Karaoke Keluarga, Haramkah



Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatu
Ustad, saya baru pertama kali ke tempat karaoke keluarga yang banyak kita jumpai sekarang ini. Setelah itu saya merasa ingin lagi ke tempat karaoke keluarga, saya jadi merasa ketagihan, karena memang saya suka dan sering bernyanyi.
Tapi sampai saat ini saya masih ragu untuk ke tempat karaoke lagi karena saya takut itu merupakan hal yang dilarang Allah SWT. Apakah tempat karaoke adalah tempat yang dilarang untuk dikunjungi dalam Islam?
Apakah bernyanyi diperbolehkan dalam ajaran Islam?
Sekian pertanyaan saya. Terima kasih, Ustad..
sambungan dari jawaban sebelumnya : Bernyanyi di Karaoke Keluarga, Haramkah?
Dalil Yang Menghalalkan Musik dan Lagu

Para ulama yang tidak mengharamkan nyanyian dan musik juga punya hujjah yang tidak bisa dianggap enteng. Hujjah mereka justru dengan cara mengkritisi dalil-dalil yang digunakan oleh pihak yang mengharamkan. Dimana pada intinya mereka menyatakan bahwa semua dalil yang dipakai, meski jumlahnya banyak, tapi tak satu pun yang tepat sasaran.

1. Jawaban Atas Dalil Quran

Lima ayat yang digunakan oleh mereka yang mengharamkan nyanyian dan musik adalah ayat yang sama sekali tidak menyinggung sedikit pun tentang nyanyian dan musik itu sendiri.
Kalau pun dipaksakan untuk ditafsirkan menjadi nyanyian dan lagu, sifatnya semata-mata hanya penafsiran yang subjektif dan dilakukan oleh hanya beberapa gelintir ulama ahli tafsir saja. Sama sekali tidak bisa dikatakan bahwa tafsiran itu mewakili pendapat seluruh mufassirin.
Jadi paling jauh, kita hanya bisa mengatakan bahwa sebagian ulama memang mengharamkan nyanyian dan lagu lewat ayat-ayat tersebut, namun sifatnya tidak mutlak, lebih merupakan pendapat subjektif dari beberapa orang di antara ulama.
a. Surat Luqman : Lahwal Hadits

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ

Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan." (QS. Luqman : 6)

Istilah lahwal-hadits (لهو الحديث) di dalam surat Luqman, memang cukup sering ditafsirkan oleh beberapa ulama sebagai nyanyian dan lagu. Namun para ulama yang tidak berpendapat seperti itu jumlahnya jauh lebih banyak lagi.
Misalnya Adh-Dhahhak, beliau menafsirkannya istilah ini sebagai syirik, dan bukan nyanyian dan musik. Sedangkan Al-Hasan mengatakan bahwa maknanya adalah syirik dan kufur.
Ibnu Hazm menolak pengharaman musik bila menggunakan ayat ini, dengan beberapa alasan, antara lain :
Pertama, penafsiran versi Mujahid tidak bisa diterima, karena yang berhak menjelaskan Al-Quran hanyalah Rasulullah SAW. Dan beliau SAW tidak menjelaskan seperti yang ditafsirkan oleh Mujahid.
Kedua, penafsiran Mujahid ini sifatnya sepihak saja, tidak mewakili penafsiran kebanyakan ulama. Sementara ada begitu banyak shahabat dan tabi’in yang menghalalkan musik.
Ketiga, kalau ditafsirkan bahwa yang dimaksud lahwa-hadits itu hanya terbatas alat musik, maka penafsiran ini batil. Sebab bisa saja orang membeli benda yang lain lalu digunakan untuk menyesatkan orang dijadikan permainan. Katakanlah misalnya ada orang membeli mushaf Al-Quran, lalu dijadikan alat untuk menyesatkan orang dan permainan. Lantas apakah haram hukumnya membeli mushaf Al-Quran hanya karena ada orang tertentu yang menjadikannya sebagai penyesat dan permainan?.

Jawabnya tentu tidak. Kalau mau mengharamkan, seharusnya yang diharamkan adalah ketika menjadikan suatu benda sebagai alat untuk menyesatkan manusia dan permainan, bukan mengharamkan benda tersebut. a. Surat Al-Anfal : Siulan dan Tepukan.
Ketika berhujjah dengan ayat tentang tentang orang-orang kafir di zaman jahiliyah beribadah dengan cara bertepuk dan bersiul, sehingga hasil kesimpulannya bahwa nyanyian dan musik itu menjadi haram, maka metode pengambilan kesimpulan hukumnya terlihat lemah sekali.

وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَاء وَتَصْدِيَةً فَذُوقُواْ الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ

"Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu." (QS. Al-Anfal : 35)

Ayat ini tidak secara langsung menyebutkan tentang musik dan lagu. Ayat ini hanya bercerita tentang bagaimana orang-orang di masa jahiliyah melakukan ibadah dengan cara bersiul-siul dan bertepuk-tepuk tangan.
Kemudian oleh kalangan yang ingin mengharamkan lagu dan musik, perbuatan orang-orang jahiliyah di masa lalu yang diceritakan di ayat ini kemudian dikaitkan dengan keharaman bernyanyi dan bermusik.
Padahal yang diharamkan adalah menyembah Allah dengan cara bersiul dan bertepuk tangan, yang mana hal itu merupaan perbuatan orang-orang kafir di masa jahiliyah.
Adapun bersiul dan bertepuk tangan di luar konteks ibadah kepada Allah, sama sekali tidak terkait dengan hukum halal dan haram. Artinya, tidak ada keharaman dari bertepuk dan bersiul, asalkan tidak ada berkaitan dengan ibadah. Misalnya adat dan budaya serta gestur yang ada di suatu masyarakat dalam berkomunikasi dengan sesama, tentu tidak bisa diharamkan begitu saja.
Di suatu peradaban tertentu, rasa kagum atas suatu hal biasa diungkapkan dengan cara bersiul. Atau rasa hormat dan bahagia biasa diungkapkan dengan bahasa tubuh yaitu bertepuk tangan spontan. Bahasa tubuh seperti itu tidak bisa begitu saja dikaitkan dengan sebuah peribadatan di peradaban yang lain.
Kalau bersiul dan bertepuk tidak selalu menjadi haram, apalagi bernyanyi dan bermusik, yang sama sekali tidak ada hubungannya. Maka kita tidak tepat rasanya mengharamkan nyanyian dan musik dengan menggunakan ayat ini.
b. Surat Al-Isra’ : Suara

Kalangan yang mengharamkan nyanyian dan musik juga menggunakan ayat berikut sebagai dasar untuk mengharamkannya.

وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ

"Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu" (QS. Al-Isra’ : 64)
Mereka mengatakan bahwa salah seorang ahli tafsir, yaitu Mujahid telah memaknainya kalimat bi shautika (بصوتك) sebagai al-ghina (الغناء), yaitu nyanyian dan lagu. Sehingga ayat ini dianggap ayat yang mengharamkannya.
Padahal pendapat itu hanya pendapat satu orang saja, yaitu Mujahid. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada beliau, kita pun tidak harus selalu terpaku kepada pendapatnya. Sebab masih banyak ulama ahli tafsir yang tidak berpendapat demikian. Misalnya dengan penafsiran Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa maknanya adalah segala ajakan yang mengajak ke arah maksiat kepada Allah.
Nampaknya Departemen Agama RI lebih menggunakan Tafsir Ibnu Abbas dari pada pendapat Mujahid. Sebab kalau kita baca terjemahan ayat ini dalam versi Departemen Agama RI, kata itu diterjemahkan menjadi : ‘dengan ajakanmu’, sama sekali tidak terkait dengan urusan nyanyian dan musik.
c. Surat Al-Furqan : Az-Zuur

Mereka yang mengharamkan nyanyian dan musik juga seringkali menggunakan ayat berikut ini sebagai dasar pengharaman.

وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَاماً

"Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya." (QS. Al-Furqan : 72)

Mereka berlindung di balik pendapat Mujahid, bahwa kata la yasyhaduna az-zuur itu maknanya adalah : tidak mendengarkan nyanyian atau lagu. Muhammad bin Al-Hanafiyah mengatakan hal yang sama.
Padahal nyaris kebanyakan pendapat para ulama ahli tafsir tidak sampai ke arah haramnya nyanyian dan lagu, karena terlalu jauh penyimpangan maknanya.
Ayat ini menceritakan tentang ciri-ciri orang yang disebut sebagai ibadurrahman atau hamba-hamba Allah yang beriman, dimana salah satu cirinya adalah orang yang tidak memberikan kesaksian palsu.
Kalau pun ada ulama yang menafsirkan maknanya, tidak selalu berupa haramnya nyanyian dan musik. Misalnya penafsrian Ibnu Katsir yang mengatakan bahwa la yasyhaduna az-zuur adalah tidak melakukan syirik atau menyembah berhala.
Titik pangkalnya adalah pada kata yasyhaduna az-zuur (يشهدون الزور), yang di dalam terjemahan versi Departemen Agama RI diartikan dengan : memberi kesaksian palsu, sebagaimana zhahirnya lafadz ayat ini.
d. Surat Al-Qashash : Laghwi

Kalangan yang mengharamkan nyanyian dan musik berdalih bahwa keduanya merupakan perbuatan sia-sia atau laghwi, sehingga hukumnya haram.
Namun kalangan yang menghalalkannya menjawab bahwa tidak semua perbuatan laghwi dilarang di dalam syariat Islam. Bahkan Al-Quran sendiri menyebutkan ada jenis laghwi yang tidak mendatangkan dosa.
Salah satunya adalah orang yang berlaghwi ketika mengucapkan sumpah, dimana Allah SWT tidak mempermasalahkannya, sebagaimana tersebut pada ayat berikut :

لاَ يُؤَخِذُكُمُ اللَهُ بِالَلغُو ِفِي أَيُمَانَكمُ

"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud, tetapi Allah menghukum kamu disebabkan yang disengaja oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun." (QS. Al-Baqarah : 225)
f. Surat An-Najm : Samidun

Ayat lainnya yang juga sering ditafsirkan sebagai musik atau lagu adalah potongan ayat di dalam surat An-Najm.

أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ وَتَضْحَكُونَ وَلاَ تَبْكُونَ وَأَنتُمْ سَامِدُونَ

__"Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu melengahkan(nya)?"_ (QS. An-Najm : 59-61)

Yang menjadi titik perhatian adalah kata samidun (سامدون). Dalam terjemahan yang kita baca dalam versi Departemen Agama, kata itu berarti orang yang lengah.
Namun beberapa ahli tafsir mengaitkannya dengan lagu dan nyanyian. Misalnya Abdullah bin Al-Abbas radhiyallahu mengatakan bahwa yang dimaksud dengan samidun di ayat ini adalah al-mughannun (المغنون), yaitu orang-orang yang bernyanyi atau mendendangkan lagu. Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah.
Sedangkan Adh-Dhahhak menafsirkan as-samud (السمود) sebagai al-lahwu wa al-la’bu (اللهو و اللعب), yang artinya pekerjaan yang sia-sia dan permainan.
Maka ayat ini menurut mereka menyebutkan sifat-sifat buruk yang dilakukan, yaitu ketika dibaca ayat-ayat Al-Quran, mereka malah bernyanyi-nyanyi.
2. Jawaban Atas Dalil Hadits

Kalau dihitung-hitung, hadits-hadits yang sering dijadikan alasan untuk mengharamkan nyanyian dan musik memang cukup banyak. Namun masalahnya sebagian dari hadits itu bermasalah, baik dari segi isnad maupun dari segi istidlal.
Abu Bakar Ibnul Arabi di dalam kitab Al-Ahkam menyebutkan dengan tegas bahwa tidak ada satu pun hadits yang shahih di antara hadits-hadits yang sering dijadikan dasar untuk mengharamkan musik.
Senada dengan di atas, Ibnu Thahir di dalam kitabnya As-Sima’, juga mengatakan tidak ada satu huruf pun yang shahih dari hadits-hadits yang mengharamkan musik.
Ibnu Hazm di dalam kitab Al-Muhalla menyebutkan : tidak ada satu pun hadits shahih dalam bab tentang haramnya musik ini. Semuanya hadits maudhu’.
Mari kita bahas satu persatu hadits-hadits yang banyak digunakan oleh merekayang mengharamkan nyanyian dan musik.
a. Hadits Pertama : Sharih Tapi Tidak Shahih

Kalangan yang mengharamkan nyanyian dan musik menggunakan hadits berikut ini sebagai dalil.

إِذَا فَعَلَتْ أُمَّتِي خَمْسَ عَشْرَةَ خَصْلَةً حَل بِهَا الْبَلاَءُ وَعَدَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا : وَاتَّخَذَتِ الْقَيْنَاتِ وَالْمَعَازِفَ
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Apabila umatku telah mengerjakan lima belas perkara, maka telah halal bagi mereka bala’. Dan beliau SAW menghitung salah satu di antaranya adalah umatku memakai alat-alat musik”. (HR. Tirmizy)

Namun yang jadi masalah adalah meski matan hadits ini dari segi istidlal termasuk sangat jelas dan tegas menyebut nama alat musik, sehingga tidak bisa ditafsirkan menjadi sesuatu yang lain, bahkan acamannya juga jelas, yaitu bala’, tetapi sayangnya para ulama umumnya memvonis hadits ini lemah.
Bahkan perawinya sendiri, yaitu Al-Imam At-Tirmizy, jelas-jelas menyebutkan dalam Sunan At-Tirmiziy, bahwa tersebut tidak shahih.
Maka bagi mereka yang menghalalkan nyanyian dan musik, hadits ini tidak bisa dijadikan landasan untuk mengharamkannya. Karena hukum halal haram tidak boleh dilandasi dengan hadits yang status hukumnya lemah.
b. Hadits Kedua : Sharih Tapi Tidak Shahih

إِنَّ اللَّهَ بَعَثَنِي رَحْمَةً وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ وَأَمَرَنِي أَنْ أَمْحَقَ الْمَزَامِيرَ وَالْكِنَّارَاتِ

Diriwayatkan dari Abi Umamah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya Allah SWT telah mengutusku menjadi rahmat dan petunjuk bagi alam semesta. Allah SWT telah memerintahkan aku untuk menghancurkan seruling dan alat-alat musik”. (HR. Ahmad)

Hadits ini juga tegas sekali menyebutkan tentang salah satu tugas Rasulullah SAW, yaitu menghancurkan seruling dan alat-alat musik. Kalau seandainya hadits ini shahih, pastilah para ulama tidak pernah berbeda pendapat tentang kewajiban menghancurkan alat-alat musik. Atau setidak-tidaknya, mengharamkan alat musik secara aklamasi.
Masalahnya justru karena hadits kedua ini juga didhaifkan oleh banyak ulama, di antaranya Al-Haitsami menyebutkan bahwa dalam rangkaian para perawinya ada seorang perawi yang dhaif bernama Ali bin Yazid.
Maka wajar kalau sebagian ulama ada yang mengharamkan alat-alat musik, namun sebagian lagi tidak memandang keharaman alat-alat musik, lantaran dalil yang digunakan untuk mengharamkannya justru bermasalah, karena merupakan hadits dhaif.
Dan hadits dhaif memang boleh digunakan untuk meningkatkan semangat dalam mendapatkan keutamaan, tetapi seluruh ulama sepakat menolak hadits dhaif untuk menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
c. Hadits Ketiga : Shahih Tapi Tidak Sharih

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالخَمْرَ وَالمَعَازِفَ

"Akan ada dari umatku suatu kaum yang menghalalkan kemaluan, sutera, khamar dan alat musik." (HR. Bukhari)

Para ulama membicarakan dan memperselisihkan hadits-hadits tentang haramnya nyanyian dan musik ini, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, dari Abi Malik Al-Asy’ari.
Hadits ini walaupun terdapat dalam hadits Shahih Bukhari, tetapi para ulama memperselisihkannya. Banyak diantara mereka yang mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits mu’alaq (sanadnya terputus), diantaranya dikatakan oleh Ibnu Hazm.
Mengapa demikian?
Ternyata hadits ini termasuk dalam kategori mu’allaqat (معلقات), meski pun Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani berijtihad bahwa hadits ini tersambung lewat sembilan jalur periwayatan. Namun semua jalur itu melewati satu orang perawi yang banyak diperdebatkan oleh para ulama, yaitu perawi bernama Hisyam bin Ammar.
Di antara perdebatan mereka antara lain apa yang dikomentari Abu Daud tentang Hisyam, yaitu sebagai orang yang meriwayatkan 400 hadits yang tidak ada asalnya. Abu Hatim menyebutnya sebagai pernah berstatus shaduq tapi kemudian sudah berubah. An-Nasa’i menyebutnya sebagai : la ba’sa bihi. Sebutan ini tidak menghasilkan mutlak kepercayaan.
Sedangkan mereka yang tidak mempermasalahkan Hisyam, bersikeras menyebut bahwa Bukhari tidak mencacatnya. Selain itu Hisyam ini adalah khatib di Damaskus, juga ahli Al-Quran serta juga ahli hadits negeri itu.
Disamping itu diantara para ulama menyatakan bahwa matan dan sanad hadits ini tidak selamat dari kegoncangan (idhtirab). Katakanlah, bahwa hadits ini shahih, karena terdapat dalam hadits Shahih Bukhari, tetapi nash dalam hadits ini masih bersifat umum, tidak menunjuk alat-alat tertentu dengan namanya. Batasan yang ada adalah bila ia melalaikan.
Kalau pun periwayatan hadits ini diterima, apa-apa yang disebutkan itu tidak semuanya haram secara mutlak. Misalnya sutera yang hanya diharamkan buat laki-laki, sedangkan perempuan dibolehkan memakainya.
Hadits ini juga tidak menyebutkan zina dengan istilah zina, melainkan dengan istilah hira (الحِرَ). Makna aslinya adalah kemaluan atau farji. Namun kemudian mengalami pergeseran makna menjadi zina. Maka kalau kita gunakan makna aslinya, yaitu menghalalkan kemaluan, hukumnya tidak mutlak salah. Sebab menghalalkan kemaluan bisa dengan cara yang benar, seperti lewat pernikahan atau menyetubuhi budak.
Maka ketika Nabi SAW menyebut alat musik, sifatnya tidak mutlak haram, tetapi maksudnya bila alat-alat musik itu membawa madharat yang memang dilarang. Maka barulah hukumnya haram.
d. Hadits Keempat :

Haramnya suara musik juga didasarkan pada hadits berikut ini yang secara jelas-jelas menyebutkan bahwa suara seruling itu merupakan hal yang terlaknat di dunia dan akhirat.

صَوْتَانِ مَلْعُوْنَانِ فيِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ : مِزْمَارٌ عِنْدَ نِعْمَةٍ وَرَنَّةٌ عِنْدَ مُصِيْبَةٍ

"Dua jenis suara yang dilaknat di dunia dan di akhirat, yaitu suara seruling ketika ada kenikmatan dan suara tangisan ketika musibah." (HR. Al-Bazzar)
e. Hadits Kelima :

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ وَالْغُبَيْرَاءَ

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu bahwa Nabi SAW bersabda, ”Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan khamar, judi, kubah dan ghubaira" (HR. Ahmad dan Abu Daud)

I إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَى أُمَّتِي الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْمِزْرَ وَالْكُوبَةَ وَالْقِنِّينَ

"Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan atas umatku dari khamar, judi, mizar, kubah dan qinnin." (HR. Ahmad)

f. Hadits Keenam : Menutup Telinga Bukan Berarti Haram

عَنْ نَافَعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ سَمِعَ صَوْتَ زِمَارَةِ رَاٍع فَوَضَعَ أُصْبُعَيْهِ فيِ أُذُنَيْهِ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيْقِ وَهُوَ يَقُولُ : يَا نَافِع أَتَسْمَعُ ؟ فَأَقُولُ : نَعَمْ فَيَمْضِي حَتىَّ قُلْتُ : لاَ فَرَفَعَ يَدَهُ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ إِلىَ الطَّرِيْقِ وَقَالَ : رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ سَمِعَ زِمَارَةَ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا - رواه أحمد وأبو داود وابن ماجه

‘Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling gembala, maka ia menutupi telingannya dengan dua jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan tersebut. Ia berkata:’Wahai Nafi’ apakah engkau dengar?’. Saya menjawab:’Ya’. Kemudian melanjutkan berjalanannya sampai saya berkata :’Tidak’. Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya dan mengalihkan kendaraannya ke jalan lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah SAW mendengar seruling gembala kemudian melakukan seperti ini’ (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Hadits ini punya dua kelemahan sekaligus, yaitu dari segi isnad dan istidlal.
Dari segi sanad, hadits ini divonis sebagai hadits munkar oleh Abu Daud. Meski pun ada juga yang menentangnya.
Namun kalau pun hadits ini diterima dari segi isnad, masih juga bermasalah dari segi istidlal. Mengapa?
Karena hadits ini sama sekali tidak menyebutkan halal atau haramnya mendengar suara musik secara eksplisit. Hadits ini memang dari segi istidlah bisa ditafsirkan menjadi dasar keharaman mendengar suara musik. Namun kesimpulan itu belum tentu tepat sasaran. Karena ada beberapa kejanggalan dalam detailnya, seperti :
Pertama, seandainya hukum mendengar suara musik itu memang benar-benar haram, seharusnya Ibnu Umar tidak pergi dan berlalu dari penggembala. Seharusnya beliau melarang si penggembala meniup seruling. Sebagai ahli fiqih di zamannya, tidak boleh hukumnya buat beliau mendiamkan kemungkaran, dan hanya sekedar menghindar.
Tapi yang beliau lakukan hanya menghindar saja, tidak melarang. Berarti kalau peristiwa disimpulkan sebagai haramnya musik adalah kesimpulan yang kurang tepat.
Kedua, seandainya hukum mendengar musik itu memang benar-benar haram secara mutlak, maka seharusnya Ibnu Umar tidak hanya menutup telinganya sendirian. Seharusnya beliau juga memerintahkan pembantunya, Nafi’, untuk ikut juga menutup telinga, seperti yang beliau lakukan dan sebagaimana yang konon dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Tetapi kenyataannya, Ibnu Umar sama sekali tidak memerintahkan Nafi’ untuk menutup telinga. Malah beliau bertanya apakah Nafi’ masih mendengarnya.
Maka karena tidak ada kejelasan pasti tentang mendengar musik haram apa tidak di hadits ini, bisa saja kita berasumsi bahwa ketika Rasulullah SAW menutup telinganya, bukan karena haramnya, melainkan karena sebab-sebab yang lain.
Sebab-sebab yang lain itu misalnya karena momentumnya tidak tepat. Mengingat di waktu-waktu tertentu, Rasulullah SAW justru membolehkan nyanyian dan musik diperdengarkan dan dimainkan, misalnya ketika Hari Raya, pernikahan atau ketika dalam peperangan.
Atau boleh jadi si penggembala kurang pandai memainkan alat musiknya sehingga terkesan memekakkan telinga, fals dan sumbang. Sehingga beliau SAW menutup telinganya sambil meninggalkannya. Padahal kalau seandainya meniup seruling itu haram, seharusnya Rasulullah SAW bukan menutup telinga, tetapi beliau menegur penggembala itu secara langsung. Mustahil buat seorang Nabi mendiamkan kemungkaran di depan mata. Karena hal itu berarti tidak amanah dalam menjalankan tugas-tugas kenabian.
g. Hadits Ketujuh Batilnya Semua Yang Sia-sia

Sebagian kalangan yang ingin mengharamkan nyanyian dan musik menggunakan hadits tentang semua perbuatan sia-sia hukumnya batil, kecuali memanah, melatih kuda dan bercumbu dengan istri.

كُلُّ مَا يَلْهُو بِهِ الرَّجُلُ المُسْلِمُ بَاطِلٌ إِلاَّ رَمْيُهُ بِقَوْسِهِ وَتَأْدِيْبُهُ فَرَسُهُ وَمُلاَعَبَتُهُ أَهْلُهُ فَإِنَّهُنَّ مِنَ الحَقِّ

"Semua perbuatan sia-sia yang dikerjakan seorang laki-laki muslim adalah batil, kecuali : melempar panah, melatihkan kuda dan mencumbui istrinya. Semua itu termasuk hak." (HR. At-Tirmizy)

Kelemahan hadits ini ada dua, yaitu dari segi keshahihannya dan dari istidlalnya.
Dari segi sanad, Al-Hafidz Al-‘Iraqi menyebutkan bahwa ada idhthirab di dalam hadits ini.
Sedangakan kelemahan dari segi istidlal bahwa hadits ini sama sekali tidak menyebut nyanyian dan musik sebagai sesuatu yang batil. Sedangkan kalau dikatakan bahwa nyanyian dan musik itu termasuk batil karena umumnya hadits ini, yang tidak batil hanya ada tiga perbuatan saja, maka akan ada begitu banyak perbuatan yang batil di sekeliling kita.
Logika seperti ini ibarat ingin membunuh lalat dengan menggunakan meriam. Lalatnya belum tentu mati, tetapi korban yang lain sudah pasti.
h. Hadits Kedelapan : Haramnya Lonceng

Haramnya musik juga dikaitkan dengan haramnya keberadaan lonceng di dalam rumah. Namun suara lonceng itu tidak selalu mutlak haram. Buktinya, kadang-kadang yang justru didengar oleh Rasulullah ketika menerima wahyu adalah suara lonceng, sebagaimana hadits shahih berikut :

أَحْيَانًا يَأْتِينِي فِي مِثْلِ صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَيَّ

"Terkadang wahyu datang kepadaku seperti bunyi lonceng. Itulah yang paling berat bagiku." (HR. Muslim)
Maka apabila lonceng itu haram hukumnya dalam segala hal, seharusnya beliau SAW tidak perlu mendengar suara lonceng ketika menerima wahyu.
3. Hadits-hadits Yang Membolehkan

Sementara itu kalangan yang menghalalkan nyanyian dan musik juga menampilkan hadits-hadits yang justru menjadi dasar atas kehalalannya. Di antara hadits-hadits itu adalah ketika Rasulullah SAW membiarkan para wanita bernyanyi

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ دَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الْأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ الْأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ قَالَتْ وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَمَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ رَسُولِ اللَّهِ وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا

Dari 'Aisyah berkata, "Abu Bakar masuk menemui aku saat itu di sisiku ada dua orang budak tetangga Kaum Anshar yang sedang bersenandung, yang mengingatkan kepada peristiwa pembantaian kaum Anshar pada perang Bu'ats." 'Aisyah menlanjutkan kisahnya, "Kedua sahaya tersebut tidaklah begitu pandai dalam bersenandung. Maka Abu Bakar pun berkata, "seruling-seruling setan (kalian perdengarkan) di kediaman Rasulullah SAW?" Peristiwa itu terjadi pada Hari Raya 'Ied. Maka bersabdalah Rasulullah SAW,"Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan sekarang ini adalah hari raya kita." (HR. Bukhari)

Hadits ini shahih terdapat di dalam kitab Ash-Shahih karya Al-Imam Al-Bukhari. Tidak ada satu pun ulama yang menentang keshahihannya.
Sementara kalangan yang mengharamkan nyanyian dan lagu menyebutkan bahwa kebolehannya bersifat sangat terbatas, yaitu karena adanya hari raya saja.
4. Fitrah Manusia

Secara fitrah manusia menyenangi suara gemercik air yang turun ke bawah, kicau burung dan suara binatang-binatang di alam bebas, senandung suara yang merdu dan suara alam lainnya.
Nyanyian dan musik merupakan bagian dari seni yang menimbulkan keindahan, terutama bagi pendengaran. Allah SWT menghalalkan bagi manusia untuk menikmati keindahan alam, mendengar suara-suara yang merdu dan indah, karena memang itu semua itu diciptakan untuk manusia.
5. Tidak Boleh Sembarangan Mengharamkan

Allah SWT telah mengharamkan sesuatu dan semuanya telah disebutkan dalam Al-Quran maupun hadits Rasulullah SAW Allah SWT menghalalkan yang baik dan mengharamkan yang buruk.
Halal dan haram telah jelas. Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ اَلْحَلالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ اَلْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ اَلنَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى اَلشُّبُهَاتِ فَقَدِ اِسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي اَلشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي اَلْحَرَامِِ

"Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Diantara keduanya ada yang syubhat, manusia tidak banyak mengetahui. Siapa yang menjaga dari syubhat, maka selamatlah agama dan kehormatannya. Dan siapa yang jatuh pada syubhat, maka jatuh pada yang haram" (HR Bukhari dan Muslim).

Sehingga jelaslah semua urusan bagi umat Islam. Allah SWT tidak membiarkan umat manusia hidup dalam kebingungan, semuanya telah diatur dalam Syariah Islam yang sangat jelas sebagaimana jelasnya matahari di siang hari. Oleh karena itu semua manusia harus komitmen pada Syari’ah Islam yang merupakan pedoman hidup mereka.
Istilah yang biasa dipakai dalam madzhab Hanafi pada masalah nyanyian dan musik sudah masuk dalam ruang lingkup maa ta’ummu bihi balwa (sesuatu yang menimpa orang banyak). Sehingga pembahasan tentang dua masalah ini harus tuntas.
Dan dalam memutuskan hukum pada dua masalah tersebut, apakah halal atau haram, harus benar-benar berlandaskan dalil yang shahih (benar) dan sharih (jelas).
Dan tajarud, yakni hanya tunduk dan mengikuti sumber landasan Islam saja yaitu Al-Quran, Sunnah yang shahih dan Ijma’. Tidak terpengaruh oleh watak atau kecenderungan perorangan dan adat-istiadat atau budaya suatu masyarakat.
Hal ini sesuai firman Allah SWT

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً

"Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu" (QS Al-Baqarah 29).

Sehingga untuk memutuskan hukum haram pada masalah muamalah termasuk nyanyian dan musik harus didukung oleh landasan dalil yang shahih dan sharih. Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya Allah SWT telah menetapkan kewajiban, janganlah engkau lalaikan, menetapkan hudud, jangan engkau langgar, mengharamkan sesuatu jangan engkau lakukan. Dan diam atas sesuatu, sebagai rahmat untukmu dan tidak karena lupa, maka jangan engkau cari-cari (hukumnya)" (HR Ad-Daruqutni).

"Halal adalah sesuatu yang Allah halalkan dalam kitab-Nya. Dan haram adalah sesuatu yang Allah haramkan dalam kitab-Nya. Sedangkan yang Allah diamkan maka itu adalah sesuatu yang dima’afkan" (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Hakim )
Kesimpulan

Lepas dari kondisi tempat penyewaan karaoke yang bisa saja dicampuri atau disalah-gunakan untuk maksiat, khusus bila karaoke itu dipergunakan seusai aturan yaitu sekedar bermusik atau bernyanyi, kita masih membaca ikhtilaf para ulama dalam hukumnya.
Sebagian kalangan yang terlanjur mengharamkan musik dan nyanyian, kadang mengharamkannya bukan semata kareha hukum musik dan nyanyian, tetapi 'illatnya karena melalaikan, atau bercampur dengan kemaksiatan yang lain.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
0 Komentar untuk "Bernyanyi Di Karaoke Keluarga, Haramkah"

Back To Top