Assalamualaikum wr wb
Dalam dunia modern ini, Selain teknologi, perkembangan spritualitas mengalami perkembangan pesat. Acara berirama keagamaan tampil memukau, masalah - masalah agama mendapatkan porsi yang memadai di masyarakat maupun dimedia massa dan di - blow uf sedemikian rupa.

Bahkan beragam aliran bernafaskan kejiwaan tumbuh subur. Semua itu sebagai jawaban atas gejala zaman yang terkait dengan kehidupan duniawi ketika manusia telah di hinggapi rasa rasa tidak bermakna dalam hidupnya. Kehilangan semangat kelahiran, terasa asing dari diri - Nya, sesama dan lingkungan sosial.
Di negeri kita misalnya, tindakan kriminal, kecurangan amoral serta dekadensi yang berujung pada pudarnya kemaslahatan umat adalah salah satunya. Jurang kemiskinan semakin lebar, peperangan, pemimpin yang tidak amanah, free sex, disintegrasi wilayah serta peristiwa penzaliman mudah di temui di mana - mana.
Inilah yang di isyaratkan Ibn Sina dalam al-Isyarat, kalau manusia semakin terdidik dan terlatih, maka kebutuhan, kenikmatan dan kehidupan spritualnya, menjadi jauh lebih penting daripada kebutuhan, kenikmatan dan kehidupan materialnya. Tentu saja dalam masyarakat primitif kebutuhan material jauh lebih penting dibanding kebutuhan spritual. Namun setelah masyarakat mengalami perkembangan, maka kebutuhan spritual jauh lebih penting. Kebutuhan spritual ini menjadi tujuan yang ingin dicapai manusia, sedangkan kebutuhan material menjadi semata - mata sarana.
Pendapat Ibn Sina tersebut kini terasa. Banyak masyarakat lantas berbondong - bondong mencari jati diri, merumuskan kembali kehidupan yang tenteram, damai dan sejahtera dengan jalan spritualistik. Metode transenden mulai di cari. Untuk itu, banyak organisasi maupun majelis - majelis taklim didirikan sebagai macam terapi kejiwaan. Terutama, menyangkut olah pikiran dan batin untuk menjadi manusia paripurna, unggul dan berguna bagi lingkungan.
Di Indonesia, fenomena tersebut bak jamur di musim hujan, dan masyarakat juga antusias untuk mengikuti. Memang, negeri ini sudah puluhan tahun merdeka, namun pembebasan hakiki jati diri bangsa masih sulit di raih. Angka kriminal, kerusakan, dan penzaliman, KKN merajalela serta penjajahan intra personal masih relatif tinggi. Agaknya, metode untuk menangani keakutan tersebut, dengan membangun kembali sentral - sentral keruhanian menjadi alternatif yang menarik.
Secara kultural, dunia mengakui bahwa Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar hingga 80%. Nyaris tidak ada kaum tak bertahan di dalamnya. Ini menjadi kekayaan religius yang patut di banggakan. Terlebih dengan sumber daya alam yang melimpah. Namun mengapa krisis multidimensi tak kunjung usai? Berbagai fenomena sosial lain membicarakan peristiwa yang menyesakkan dada ; mulai banjir, gempa, kerusakan moral, penyakit yang merajalela, kehancuran sumber daya alam hingga bencana terus menerus.
Teori marxis bersama kalangan atheis menjawab permasalahan tersebut dengan meyakinkan bahwa keadaan itu menunjukkan tidak ada tuhan yang patut di sembah. Kehebatan tuhan patut di ragukan. Jika tuhan maha berkehendak, dia akan menjadikan dunia dalam keadaan damai - damai, tapi tidak demikian kenyataannya. Pendapat itu telah berkembang lama di benua Eropa sekitar abad 19 dan mendapat simpati kalangan Barat.
Sebagai Muslim, mengimani apa yang mereka kemukakan adalah bentuk lain dari kekafiran. Ulama mencap mereka sebagai kalangan sesaat. Itulah bagian sekularisasi. Menurut Syaihk Ahmad Ad-Daur (Nizhamul Islam, 1953) sekularisme adalah faham yang memisahkan agama dari kehidupan. Setelah itu, mereka menerapkan berbagai doktrin yang bernafaskan sekularisasi untuk mencuci otak kaum muslimin sehingga tidak lagi berpikir dengan pendekatan agama.
Agama islam memiliki perspektif yang lebih konpatable dalam memandang berbagai keadaan runyam tersebut melalui kaca mata risalah - Nya. Bila di cermati lebih dalam, tidak ada yang lebih tepat untuk menjadi kambing hitam kecuali di akibatkan oleh kerusakan pada jiwa manusia.
Kerusakan jiwa adalah penyakit kronis yang begitu membahayakan dan tidak akan sembuh kecuali dengan konsep yang di ciptakan oleh si pencipta manusia itu sendiri, yaitu Allah Azzawajalla melalui kitabullah dan as-sunnah. Allah menegaskan jika seseorang menjalani hidup penuh ketaatan, Allah akan menurunkan keberkahan dari langit dan bumi. Sebaliknya, adzab akan menimpa jika kedurhakaan merajalela.
"Jikalau sekiranya penduduk negeri - negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat - ayat kami) itu. Maka kami siksa mereka di sebabkan perbuatannya. (al - A'raf :96)
Jiwa yang lurus adalah jiwa yang selalu melandaskan hakikat ketuhanan dalam kehidupan. Sesungguhnya, ketika manusia di lahirkan ke alam dunia, Allah telah menancapkan tabiat ketuhanan ke dalam tiap jiwa mereka. Dengan sebuah janji, "Tidak ada Tuhan selain Allah " ketauhidan semacam itu tertanam saat keturunan Adam dalam kondisi yang sangat lemah dan menempati posisi dasar dalam tingkatan manusia, yaitu ketika bayi. Dikala bayi tidak mampu berlari cepat, bekerja keras, tergeletak dalam ayunan sang ibu, sejatinya Allah telah memberi tabiat kesucian yang akan membimbing kehidupannya kelak.
Nabi saw mengaitkan hal ini dengan keadaan fitrah (kesucian) seorang bayi yang tidak akan berubah kecuali karena pengaruh orang tuanya sehingga menjadi Nasrani, Yahudi,atau Majusi (mutafaq alaih). sebab itu kalangan tak bertuhan bersama orang-orang yang tidak menjalankan konsepsi ketuhanan dalam hidupnya, beserta pendosa yang jiwanya rusak, hati mereka tidak akan merasakan kebahagiaan sejati kendati bergelimang harta dan kedudukan.
"maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yg buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada. (QS al - Hajj :46)
Katakanlah, "Dia-lah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati" (tetapi) amat sedikit kamu bersyukur. (QS al Mulk :23)
kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan kedalamnya roh (ciptaan) - Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati ; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (QS as Sajdah : 9)
Makna hati di atas bukan sifat materi atau kebendaan sebagaimana dalam pengertian medis adalah organ yang berwarna kemerah - merahan di bagian atas rongga perut yang berfungsi untuk mengambil sari pati makanan dalam darah dan menghasilkan empedu. Hati dalam teks ini bisa di temui juga pada binatang. Tapi, sesuatu yang lathief (halus), tempat bersemayam hakikat ketuhanan. Di situlah terasa berbagai gambaran perasaan, senang, gembira, duka, sedih atau semacamnya.
Dalam Ihya' Ulumuddin, Imam al-Ghazali menafsirkan tentang hadits Rasulullah saw yang artinya, "sesungguhnya malaikat tidak akan masuk pada rumah yang di dalamnya terdapat anjing" yang di maksud dengan rumah dalam hadits ini adalah hati manusia, sedangkan yang dimaksud dengan anjing adalah penyakit - penyakit hati berupa dengki, hasut, iri hati, sombong, angkuh, riya. Anjing - anjing itulah yang harus dikeluarkan dari dalam rumah (hati), agar hati kita menjadi bersih dari berbagai penyakit.
Begitu pentingnya menjaga kebersihan hati sampai Allah mengeluarkan pernyataannya dalam Al-Qur'an. "pada hari itu tidak ada manfaatnya harta ataupun anak - anak kecuali mereka yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih. (QS as-Syu'ra :88-89). Baginda Nabi pun senantiasa berdoa agar hatinya selalu di tetapkan dalam iman kepada Allah "Ya Muqolibal qulub sabit qolbi ala dinik" (Wahai Dzat yang membolak balikan hati manusia tetapkanlah hati kami dalam agama - MU).
Itu sebabnya kalangan sufi ada yang mengibaratkan hati adalah Arsy, dimana hakikat rububiyyah bersemayam di dalamnya. Jika hati lekat dengan kesucian, di sanalah Nur Allah bersemayam. Allah maha suci, tidak akan menyalahi dengan segala sesuatu yang bertentangan dengan sifat (suci) - Nya. Nabi saw menyampaikan, seandainya setan - setan tidak mengelilingi hati anak Adam, mereka akan dapat memandang alam malakut, alam cahaya di mana ruas - ruasnya meliputi bumi dan langit yang tidak akan nampak pandangan lahir kecuali bagi mereka yang bersih hatinya.
Hati bersih, ibarat gelas yang terisi air putih, akan nampak apa yang ada didalamnya. Ada semut pun pasti terlihat. Jika gelas di isi kopi, apa yang tampak? Bahkan belatung tidak akan terlihat karena warna (kopi) yang hitam pekat demikian sifat kemuliaan Allah yang tertanam dalam ha yang bersih. Jika dosa sudah menumpuk, bekas perbuatan hina bak kepulan asap hitam yang terus menjadi pekat dan berlapis sehingga hati menjadi gelap. Wallohu a'lam **(baca juga : Di mana kita... Allah Selalu Ada _"Muroqobah"_)
Dalam dunia modern ini, Selain teknologi, perkembangan spritualitas mengalami perkembangan pesat. Acara berirama keagamaan tampil memukau, masalah - masalah agama mendapatkan porsi yang memadai di masyarakat maupun dimedia massa dan di - blow uf sedemikian rupa.

Bahkan beragam aliran bernafaskan kejiwaan tumbuh subur. Semua itu sebagai jawaban atas gejala zaman yang terkait dengan kehidupan duniawi ketika manusia telah di hinggapi rasa rasa tidak bermakna dalam hidupnya. Kehilangan semangat kelahiran, terasa asing dari diri - Nya, sesama dan lingkungan sosial.
Di negeri kita misalnya, tindakan kriminal, kecurangan amoral serta dekadensi yang berujung pada pudarnya kemaslahatan umat adalah salah satunya. Jurang kemiskinan semakin lebar, peperangan, pemimpin yang tidak amanah, free sex, disintegrasi wilayah serta peristiwa penzaliman mudah di temui di mana - mana.
Inilah yang di isyaratkan Ibn Sina dalam al-Isyarat, kalau manusia semakin terdidik dan terlatih, maka kebutuhan, kenikmatan dan kehidupan spritualnya, menjadi jauh lebih penting daripada kebutuhan, kenikmatan dan kehidupan materialnya. Tentu saja dalam masyarakat primitif kebutuhan material jauh lebih penting dibanding kebutuhan spritual. Namun setelah masyarakat mengalami perkembangan, maka kebutuhan spritual jauh lebih penting. Kebutuhan spritual ini menjadi tujuan yang ingin dicapai manusia, sedangkan kebutuhan material menjadi semata - mata sarana.
Pendapat Ibn Sina tersebut kini terasa. Banyak masyarakat lantas berbondong - bondong mencari jati diri, merumuskan kembali kehidupan yang tenteram, damai dan sejahtera dengan jalan spritualistik. Metode transenden mulai di cari. Untuk itu, banyak organisasi maupun majelis - majelis taklim didirikan sebagai macam terapi kejiwaan. Terutama, menyangkut olah pikiran dan batin untuk menjadi manusia paripurna, unggul dan berguna bagi lingkungan.
Di Indonesia, fenomena tersebut bak jamur di musim hujan, dan masyarakat juga antusias untuk mengikuti. Memang, negeri ini sudah puluhan tahun merdeka, namun pembebasan hakiki jati diri bangsa masih sulit di raih. Angka kriminal, kerusakan, dan penzaliman, KKN merajalela serta penjajahan intra personal masih relatif tinggi. Agaknya, metode untuk menangani keakutan tersebut, dengan membangun kembali sentral - sentral keruhanian menjadi alternatif yang menarik.
Secara kultural, dunia mengakui bahwa Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar hingga 80%. Nyaris tidak ada kaum tak bertahan di dalamnya. Ini menjadi kekayaan religius yang patut di banggakan. Terlebih dengan sumber daya alam yang melimpah. Namun mengapa krisis multidimensi tak kunjung usai? Berbagai fenomena sosial lain membicarakan peristiwa yang menyesakkan dada ; mulai banjir, gempa, kerusakan moral, penyakit yang merajalela, kehancuran sumber daya alam hingga bencana terus menerus.
Teori marxis bersama kalangan atheis menjawab permasalahan tersebut dengan meyakinkan bahwa keadaan itu menunjukkan tidak ada tuhan yang patut di sembah. Kehebatan tuhan patut di ragukan. Jika tuhan maha berkehendak, dia akan menjadikan dunia dalam keadaan damai - damai, tapi tidak demikian kenyataannya. Pendapat itu telah berkembang lama di benua Eropa sekitar abad 19 dan mendapat simpati kalangan Barat.
Sebagai Muslim, mengimani apa yang mereka kemukakan adalah bentuk lain dari kekafiran. Ulama mencap mereka sebagai kalangan sesaat. Itulah bagian sekularisasi. Menurut Syaihk Ahmad Ad-Daur (Nizhamul Islam, 1953) sekularisme adalah faham yang memisahkan agama dari kehidupan. Setelah itu, mereka menerapkan berbagai doktrin yang bernafaskan sekularisasi untuk mencuci otak kaum muslimin sehingga tidak lagi berpikir dengan pendekatan agama.
Agama islam memiliki perspektif yang lebih konpatable dalam memandang berbagai keadaan runyam tersebut melalui kaca mata risalah - Nya. Bila di cermati lebih dalam, tidak ada yang lebih tepat untuk menjadi kambing hitam kecuali di akibatkan oleh kerusakan pada jiwa manusia.
Kerusakan jiwa adalah penyakit kronis yang begitu membahayakan dan tidak akan sembuh kecuali dengan konsep yang di ciptakan oleh si pencipta manusia itu sendiri, yaitu Allah Azzawajalla melalui kitabullah dan as-sunnah. Allah menegaskan jika seseorang menjalani hidup penuh ketaatan, Allah akan menurunkan keberkahan dari langit dan bumi. Sebaliknya, adzab akan menimpa jika kedurhakaan merajalela.
"Jikalau sekiranya penduduk negeri - negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat - ayat kami) itu. Maka kami siksa mereka di sebabkan perbuatannya. (al - A'raf :96)
Jiwa yang lurus adalah jiwa yang selalu melandaskan hakikat ketuhanan dalam kehidupan. Sesungguhnya, ketika manusia di lahirkan ke alam dunia, Allah telah menancapkan tabiat ketuhanan ke dalam tiap jiwa mereka. Dengan sebuah janji, "Tidak ada Tuhan selain Allah " ketauhidan semacam itu tertanam saat keturunan Adam dalam kondisi yang sangat lemah dan menempati posisi dasar dalam tingkatan manusia, yaitu ketika bayi. Dikala bayi tidak mampu berlari cepat, bekerja keras, tergeletak dalam ayunan sang ibu, sejatinya Allah telah memberi tabiat kesucian yang akan membimbing kehidupannya kelak.
Nabi saw mengaitkan hal ini dengan keadaan fitrah (kesucian) seorang bayi yang tidak akan berubah kecuali karena pengaruh orang tuanya sehingga menjadi Nasrani, Yahudi,atau Majusi (mutafaq alaih). sebab itu kalangan tak bertuhan bersama orang-orang yang tidak menjalankan konsepsi ketuhanan dalam hidupnya, beserta pendosa yang jiwanya rusak, hati mereka tidak akan merasakan kebahagiaan sejati kendati bergelimang harta dan kedudukan.
"maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yg buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada. (QS al - Hajj :46)
Katakanlah, "Dia-lah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati" (tetapi) amat sedikit kamu bersyukur. (QS al Mulk :23)
kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan kedalamnya roh (ciptaan) - Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati ; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (QS as Sajdah : 9)
Makna hati di atas bukan sifat materi atau kebendaan sebagaimana dalam pengertian medis adalah organ yang berwarna kemerah - merahan di bagian atas rongga perut yang berfungsi untuk mengambil sari pati makanan dalam darah dan menghasilkan empedu. Hati dalam teks ini bisa di temui juga pada binatang. Tapi, sesuatu yang lathief (halus), tempat bersemayam hakikat ketuhanan. Di situlah terasa berbagai gambaran perasaan, senang, gembira, duka, sedih atau semacamnya.
Dalam Ihya' Ulumuddin, Imam al-Ghazali menafsirkan tentang hadits Rasulullah saw yang artinya, "sesungguhnya malaikat tidak akan masuk pada rumah yang di dalamnya terdapat anjing" yang di maksud dengan rumah dalam hadits ini adalah hati manusia, sedangkan yang dimaksud dengan anjing adalah penyakit - penyakit hati berupa dengki, hasut, iri hati, sombong, angkuh, riya. Anjing - anjing itulah yang harus dikeluarkan dari dalam rumah (hati), agar hati kita menjadi bersih dari berbagai penyakit.
Begitu pentingnya menjaga kebersihan hati sampai Allah mengeluarkan pernyataannya dalam Al-Qur'an. "pada hari itu tidak ada manfaatnya harta ataupun anak - anak kecuali mereka yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih. (QS as-Syu'ra :88-89). Baginda Nabi pun senantiasa berdoa agar hatinya selalu di tetapkan dalam iman kepada Allah "Ya Muqolibal qulub sabit qolbi ala dinik" (Wahai Dzat yang membolak balikan hati manusia tetapkanlah hati kami dalam agama - MU).
Itu sebabnya kalangan sufi ada yang mengibaratkan hati adalah Arsy, dimana hakikat rububiyyah bersemayam di dalamnya. Jika hati lekat dengan kesucian, di sanalah Nur Allah bersemayam. Allah maha suci, tidak akan menyalahi dengan segala sesuatu yang bertentangan dengan sifat (suci) - Nya. Nabi saw menyampaikan, seandainya setan - setan tidak mengelilingi hati anak Adam, mereka akan dapat memandang alam malakut, alam cahaya di mana ruas - ruasnya meliputi bumi dan langit yang tidak akan nampak pandangan lahir kecuali bagi mereka yang bersih hatinya.
Hati bersih, ibarat gelas yang terisi air putih, akan nampak apa yang ada didalamnya. Ada semut pun pasti terlihat. Jika gelas di isi kopi, apa yang tampak? Bahkan belatung tidak akan terlihat karena warna (kopi) yang hitam pekat demikian sifat kemuliaan Allah yang tertanam dalam ha yang bersih. Jika dosa sudah menumpuk, bekas perbuatan hina bak kepulan asap hitam yang terus menjadi pekat dan berlapis sehingga hati menjadi gelap. Wallohu a'lam **(baca juga : Di mana kita... Allah Selalu Ada _"Muroqobah"_)
Tag :
Motivasi Muslim
0 Komentar untuk "Islam Menjawab Tantangan Zaman "