Mencapai Jiwa Yang Tenang



Assalamualaikum wr wb

يَا أ يَتُهَاا الّنفْسُ الْمُطْمَئِنََةُ ارْجِعيْ اِلى رَبُّكَ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً

Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. (QS al-Fajr :27-28)_

Merujuk pada ayat di atas, perlu membuat kerangka yang sahih bagaimana agar manusia jiwanya unggul dan mulia? Dalam hal ini, Al-Qur'an membagi tingkatan jiwa dalam beberapa perspektif di mana setiap jiwa tersebut adalah jenjang yang harus di kuasai agar seseorang dapat mencapai kesempurnaan (aktualitas diri)

Pertama, al Nafs-al amarah, yaitu jiwa yang memerintah. Al-Qur'an mengisyaratkan,... Sungguh, jiwa (manusia) menyuruh berbuat kejahatan...(QS Yusuf :53). Nafs ini didominasi oleh keinginan terhadap keduniawian, harta, tahta, wanita, maunya selalu mengenakan dan mengenyangkan nafsunya.

Kedua, al Nafs-al lawwamah. Jiwa yang mencela. Al-Qur'an menegaskan, "Dan Aku bersumpah demi jiwa yang mencela " (QS al-Qiyamah :2). jiwa ini senantiasa menyesal karena tidak merasa cukup dalam berbuat kebaikan, jiwa ini pada hakikatnya mendidik kesadaran akan kehinaan, kelemahan, kebodohan, kekurangan diri dan menghindari kesombongan.

Ketiga, al Nafs-al mutmainnah (kamilah). Jiwa yang tenang. Al-Qur'an menyebut jiwa ini, wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya maka masuklah kedalam jemaah hamba - hambaKu dan masuklah kedalam surga - Ku.(QS al-Fajr :27-30) jiwa ini mengantarkan manusia kepada pengenalan jati diri menuju jalan Allah. Jiwa ini yakin kepada Tuhan-Nya, (melalui al Islam) sehingga dia berada dalam ketenangan, kedamaian dan kesejahteraan. Inilah jiwa termulia yang telah mencapai islam secara haqqul yakin.

Untuk mencapai Jiwa Yang unggul (kamilah), sebagai muslim, meyakini ajaran islam dengan kesungguhan adalah mutlak. Islam adalah agama yang universal, di dalamnya terbentang segala aturan yang melingkupi mulai dari hal yang terkecil hingga terbesar. Tidak ada Satupun celah yang terabaikan dari awal hingga akhir, seakan tanpa batas menyelimuti seluruh kehidupan yang ada. Universalitas ajaran islam (yang di bawakan Muhammad saw) tidak di kenal pada risalah - risalah Ilahi sebelumnya di mana setiap risalah di peruntukan bagi kaum dan masa tertentu.

Ibadah sendiri, dalam islam, tidak tersekat pada tradisi penyembahan yang kita kenal selama ini. Tapi mencakup keseluruhan sisi dan dimensi kehidupan, sebagai Way of life yang integral. Seperti di sampaikan Hasan al-Banna bahwa islam merupakan risalah yang panjang, terbentang meliputi semua abad sepanjang zaman, terhampar luas meliputi segala cakrawala umat, dan begitu mendalam sehingga memuat urusan dunia dan akhirat.

Untuk itu, mari kita melakukan hifotesa terhadap konsep dasar yang harus di pegang oleh seseorang saat dirinya mendeklarasikan sebagai hamba Tuhan (Allah) dan bersaksi bahwa Muhammad saw adalah utusan-Nya.

Pertama kali, seorang muslim akan melalui jalan setapak dengan apa yang di sebut dengan aplikasi rukun islam. Yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji. Kelima rukun tersebut memiliki tahapan yang tidak bisa di putar balikan sesuai selera. Misalnya, anda dianggap sia - sia melaksanakan shalat jika tidak bersyahadat dahulu (menjadi muslim). Akan percuma jika anda berpuasa (Ramadhan) namun tidak membayar zakat (tapi mampu). Tidak layak anda melaksanakan haji kalau tidak shalat, tidak zakat bahkan tidak berpuasa (Ramadhan).

Kita perhatikan rukun yang pertama, yaitu syahadat. Mengapa setelah itu setiap muslim di perintah mendirikan shalat, bukan puasa, zakat, atau haji lebih dulu? Menjawab pertanyaan ini tidak sulit sama gampangnya bila di ilustrasikan dengan kelahiran seorang bayi hingga menginjak dewasa. Ketika bayi lahir, makanan pertama yang harus di berikan adalah ASI.

Menginjak beberapa bulan, bisa di beri makanan suplemen ; roti, atau bubur halus, kemudian menginjak usia beberapa tahun makanan yang di berikan lebih beragam sesuai tingkat perkembangannya. Bagaimana bayi yang baru lahir di beri makan jengkol atau daging? Secara logika, ini jelas menyalahi kodrat, karena kondisi alamiah tubuh bayi tidak memungkinkan untuk itu.

Sama halnya jika anda berangkat ketanah suci tapi belum menyempurnakan shalat, tidak puasa (ramadhan) atau tidak membayar zakat, Secara struktural, muslim semacam ini bisa di katakan "keblinger" karena menyalahi aturan sar'i, bahasa Gaulnya, sama juga bohong.

Lantas mengapa ketika seseorang awal kali menjadi muslim harus menjalankan shalat dahulu, bukan (rukun) yang lainnya?, sebab shalat adalah ibadah yang menjadi perhatian dan pusat pusaran 'energi' yang kelak membawa manusia ke alam kedamaian dan kemuliaan jiwa. Bahkan ada wali Allah dan orang - orang bertakwa lebih memilih shalat menghadap Allah dari pada surga yang penuh dengan kenikmatan dan keabadian. Ibnu Sirrin pernah berkata "sekiranya aku di beri kesempatan untuk memilih antara surga dan shalat dua rakaat, maka aku akan memilih shalat, karena surga adalah untuk kesenanganku tapi shalat adalah untuk Allah."

Ketika terjadi peperangan, Abdullah bin Zubair sedang melakukan shalat di samping diding masjid. Tiba tiba musuh menyerang sehingga salah satu tembok mesjid runtuh dan batu - batuan masjid yang runtuh tersebut mengenai lehernya sehingga beliau terluka. Tapi beliau tetap meneruskan shalatnya tanpa sedikitpun perasaan takut atau khawatir. Bahkan ia tidak memberhentikan shalatnya baik dalam sujud maupun rukuknya.

Ali, putra Abdullah bin Abbas, terbiasa sujud seribu kali sehari semalam sehingga di juluki as-sajjad (yang banyak sujud). Abu Talhah pernah mensedekahkan kebunnya lantaran shalatnya rusak di sebabkan mengamati burung yang terjerembab di sekitar kebunnya saat ia shalat. Diriwayatkan pula, ada seorang ahli takwa yang ketika hidup di dunia memohon kepada Allah agar dapat melakukan shalat kendati dialam kubur (saat meninggal)

Begitu hebatnya perhatian mereka terhadap ibadah shalat, pasti ada kerutan dahi dan pertanyaan heran. "ada rahasia apa di balik shalat? "
1 Komentar untuk "Mencapai Jiwa Yang Tenang "

Back To Top